STRATIFIKASI SOSIAL DI MASYARAKAT
PENGANTAR
Masyarakat merupakan sekelompok sumber daya manusia yang dapat dan senantiasa mempunyai penghargaan tertentu terhadap hal-hal tertentu. Dan hal itulah yang membuat masyarakat senantiasa berusaha untuk meraih penghargaan serta meraih kehidupan yang baik. Oleh sebab itu terdapatlah beberapa lapisan atau stratifikasi sosial dalam masyarakat.
Stratifikasi sosial merupakan suatu konsep dalam sosiologi yang melihat bagaimana anggota masyarakat dibedakan berdasarkan status yang dimilikinya. Status yang dimiliki oleh setiap anggota masyarakat ada yang didapat dengan suatu usaha (achievement status) dan ada yang didapat tanpa suatu usaha (ascribed status). Stratifikasi berasal dari kata stratum yang berarti strata atau lapisan dalam bentuk jamak.
Adanya lapisan masyarakat dapat terbentuk dengan sendirinya ataupun dengan sebuah proses. Apabila dengan sebuah proses, itu biasanya proses tersebut ditentukan beberapa faktor antara lain : kepandaian, usia, sistem kekerabatan, dan harta dalam batas-batas tertentu. Serta ada beberapa alasan yang dipakai oleh beberapa daerah.
Contoh kasus stratifikasi social salah satunya adalah orang miskin atau tidak mampu di larang sekolah. musim baru pendidikan telah tiba membawa serta berbagai hal baru. Ada baju (seragam) baru, sepatu baru, kaus kaki baru dan tas baru. Juga ada topi baru, dasi baru dan tentu saja sederetan kebijakan baru, baik itu dari pemerintah, yayasan maupun sekolah. Namun yang lebih penting dari semuanya adalah semangat dan motivasi baru untuk mengefektifkan proses belajar-mengajar demi meraih sukses (gemilang) di musim UAN-UAS tahun 2011.
Berhadapan dengan semua kebaruan ini sikap dan disposisi batin orangtua siswa tentu bervariasi. Bagi orangtua konglomerat dan pejabat birokrasi menghadapi musim baru pendidikan dengan label serba baru bukan masalah. Mereka dengan wajah sumringah memperlihatkan senyumnya yang tersungging bahagia. Biaya sekolah yang mahal bukan perkara yang sulit bagi mereka. Anak-anak mereka pun tampak riang dan ceria saban hari di sekolah. Sambil duduk manis di dalam ruang kelas mereka menyimak dengan saksama semua yang diajarkan bapak-ibu guru.
Sementara bagi orangtua pegawai biasa, yang ada pada mereka hanyalah semangat untuk membangun optimisme dalam menata hari esok menjadi lebih baik. Anak-anak mereka umumnya menampakkan dua wajah sekaligus dalam interaksi sosialnya dengan teman-teman dan para guru di sekolah: kadang tampak girang, namun tidak jarang wajah mereka berbalutkan duka nestapa tatkala mengenang kembali kesahajaan hidup dan kekurangmampuan orangtuanya yang sedang menantikan dengan rindu kedatangan mereka di rumah.
Lantas, bagaimana dengan orangtua yang petani, tukang, buruh, wiraswastawan kecil dan profesi-profesi selevelnya? Di antara mereka ada yang masih dengan setia menyulam asa yang tersisa untuk menyiasati kemiskinan yang sedang menerpa mereka, kendatipun itu terasa berat. Kebanyakan mereka hanya pasrah sambil bergumam, "Selamat tinggal pendidikan, selamat tinggal sekolah. Jauhilah kami, sebab kami tidak mampu menggapaimu. Kami tidak sanggup menanggung mahalnya biaya pendidikan yang lahir dari rahim kebijakan para penguasa. Rangkullah erat-erat para konglomerat.
Berhadapan dengan semua kebaruan ini sikap dan disposisi batin orangtua siswa tentu bervariasi. Bagi orangtua konglomerat dan pejabat birokrasi menghadapi musim baru pendidikan dengan label serba baru bukan masalah. Mereka dengan wajah sumringah memperlihatkan senyumnya yang tersungging bahagia. Biaya sekolah yang mahal bukan perkara yang sulit bagi mereka. Anak-anak mereka pun tampak riang dan ceria saban hari di sekolah. Sambil duduk manis di dalam ruang kelas mereka menyimak dengan saksama semua yang diajarkan bapak-ibu guru.
Sementara bagi orangtua pegawai biasa, yang ada pada mereka hanyalah semangat untuk membangun optimisme dalam menata hari esok menjadi lebih baik. Anak-anak mereka umumnya menampakkan dua wajah sekaligus dalam interaksi sosialnya dengan teman-teman dan para guru di sekolah: kadang tampak girang, namun tidak jarang wajah mereka berbalutkan duka nestapa tatkala mengenang kembali kesahajaan hidup dan kekurangmampuan orangtuanya yang sedang menantikan dengan rindu kedatangan mereka di rumah.
Lantas, bagaimana dengan orangtua yang petani, tukang, buruh, wiraswastawan kecil dan profesi-profesi selevelnya? Di antara mereka ada yang masih dengan setia menyulam asa yang tersisa untuk menyiasati kemiskinan yang sedang menerpa mereka, kendatipun itu terasa berat. Kebanyakan mereka hanya pasrah sambil bergumam, "Selamat tinggal pendidikan, selamat tinggal sekolah. Jauhilah kami, sebab kami tidak mampu menggapaimu. Kami tidak sanggup menanggung mahalnya biaya pendidikan yang lahir dari rahim kebijakan para penguasa. Rangkullah erat-erat para konglomerat.
Peluklah dengan mesra kaum kapitalis. Ziarah kami untuk melancong di rimba pendidikan berakhir di sini. Karena pintu sekolah hanya terbuka bagi orang kaya. Dan kami, orang miskin, dilarang sekolah."
Tetapi ada juga yang dengan polos mendatangi para wakilnya di Dewan dan Pemerintah Kota untuk sekadar mengadu serentak memohon kalau dapat anak-anak mereka bisa diakomodir di sekolah negeri karena sekolah swasta semuanya mahal. Dan gayung pun bersambut, pemerintah (kota) akhirnya merestui tuntutan para orangtua dan berlakulah kebijakan penambahan ruang belajar baru di sekolah-sekolah negeri.
Tetapi ada juga yang dengan polos mendatangi para wakilnya di Dewan dan Pemerintah Kota untuk sekadar mengadu serentak memohon kalau dapat anak-anak mereka bisa diakomodir di sekolah negeri karena sekolah swasta semuanya mahal. Dan gayung pun bersambut, pemerintah (kota) akhirnya merestui tuntutan para orangtua dan berlakulah kebijakan penambahan ruang belajar baru di sekolah-sekolah negeri.
BAHASAN
kebijakan Pemerintah Kota menambah ruang belajar baru di sekolah-sekolah negeri tidak bermaksud untuk mematikan sekolah-sekolah swasta yang sedang eksis saat ini. Pemerintah kota hanya melaksanakan amanat undang-undang untuk membuka ruang seluas-luasnya bagi masyarakat pencari pendidikan. Bahkan pemerintah berjanji akan membantu sekolah-sekolah swasta dengan menempatkan guru-guru negeri di sekolah swasta.
Memang di mana-mana orang miskin selalu kesulitan mendapatkan akses untuk menikmati pendidikan secara memadai karena mahalnya biaya yang tidak terjangkau, terutama di sekolah-sekolah swasta. Mereka memilih tidak akan menyekolahkan anak-anaknya di sekolah swasta apabila sekolah negeri tetap ngotot menolak anak-anak mereka. "Anak saya sudah putus asa, dia tidak mau sekolah, apalagi di sekolah swasta” kata salah seorang buruh. Lagi-lagi, sekolah swasta diidentikkan dengan biaya mahal. Dan kemahalan selalu menjadi momok yang menakutkan para orangtua siswa. Karenanya perlu diwacanakan untuk dipertimbangkan dalam bingkai kebijakan pemerintah bersama yayasan.
Terdapat cukup banyak argumentasi yang berseliweran manakala orang memperbincangkan pendidikan. Ada sebagian besar masyarakat yang dengan ekstrem menawarkan kebijakan pendidikan gratis sehingga semua anak bangsa bisa menikmatinya. Yang lain mengusulkan agar pendidikan tidak boleh gratis, tetapi bisa dikelola dengan biaya murah. Sementara itu ada juga segelintir orang yang dengan tegas menolak pendidikan murah, apalagi gratis. Mereka tetap bersikukuh mempertahankan model dan kebijakan pendidikan dengan biaya mahal. Argumentasinya adalah bahwa mahalnya biaya pendidikan berbanding lurus dengan tingginya mutu lulusan. Apakah benar demikian? Mungkin ya, mungkin juga tidak!
kebijakan Pemerintah Kota menambah ruang belajar baru di sekolah-sekolah negeri tidak bermaksud untuk mematikan sekolah-sekolah swasta yang sedang eksis saat ini. Pemerintah kota hanya melaksanakan amanat undang-undang untuk membuka ruang seluas-luasnya bagi masyarakat pencari pendidikan. Bahkan pemerintah berjanji akan membantu sekolah-sekolah swasta dengan menempatkan guru-guru negeri di sekolah swasta.
Memang di mana-mana orang miskin selalu kesulitan mendapatkan akses untuk menikmati pendidikan secara memadai karena mahalnya biaya yang tidak terjangkau, terutama di sekolah-sekolah swasta. Mereka memilih tidak akan menyekolahkan anak-anaknya di sekolah swasta apabila sekolah negeri tetap ngotot menolak anak-anak mereka. "Anak saya sudah putus asa, dia tidak mau sekolah, apalagi di sekolah swasta” kata salah seorang buruh. Lagi-lagi, sekolah swasta diidentikkan dengan biaya mahal. Dan kemahalan selalu menjadi momok yang menakutkan para orangtua siswa. Karenanya perlu diwacanakan untuk dipertimbangkan dalam bingkai kebijakan pemerintah bersama yayasan.
Terdapat cukup banyak argumentasi yang berseliweran manakala orang memperbincangkan pendidikan. Ada sebagian besar masyarakat yang dengan ekstrem menawarkan kebijakan pendidikan gratis sehingga semua anak bangsa bisa menikmatinya. Yang lain mengusulkan agar pendidikan tidak boleh gratis, tetapi bisa dikelola dengan biaya murah. Sementara itu ada juga segelintir orang yang dengan tegas menolak pendidikan murah, apalagi gratis. Mereka tetap bersikukuh mempertahankan model dan kebijakan pendidikan dengan biaya mahal. Argumentasinya adalah bahwa mahalnya biaya pendidikan berbanding lurus dengan tingginya mutu lulusan. Apakah benar demikian? Mungkin ya, mungkin juga tidak!
Tetapi untuk sekolah gratis, rupanya masih harus dipikirkan lagi secara matang, sebab kebijakan demikian tidak saja mengamputasi tanggung jawab dan partisipasi orangtua dalam menyediakan sumber daya manusia yang berkualitas, tetapi juga menghancurkan eksistensi sekolah swasta yang sedang giat-giatnya mengambil bagian dalam proses pencerdasan anak bangsa. Banyak sekolah swasta yang akan hancur berantakan, bahkan mati apabila pemerintah memberlakukan kebijakan sekolah gratis. Ini yang perlu diwaspadai semua pihak. Oleh sebab itu, strategi yang perlu ditempuh pihak yayasan supaya sekolah swasta tidak mengalami mati suri adalah dengan merancang sebuah model pendidikan murah sekaligus juga mengedepankan kualitas yang terjamin. Dan pemerintah dengan program pendidikannya yang holistik harus memberikan perhatian penuh kepada sekolah-sekolah swasta melalui subsidi, karena in concreto mereka (baca: sekolah swasta) juga memiliki kontribusi yang luar biasa besar bagi pembangunan bangsa demi mewujudkan bonum commune.
Diskursus yang agak plastis muncul ketika orang menguliti pendidikan dengan label 'murah'. Pendidikan dengan ongkos murah itu lebih banyak manfaatnya daripada mudaratnya. Pertama, dengan pendidikan murah dapat dipastikan bahwa hampir semua anak bangsa memiliki peluang untuk merasakan indahnya masa-masa sekolah. Pendidikan murah juga dapat membuat banyak orang merasa gembira, terlebih para peserta didik. Dan pada dasarnya kegembiraan merupakan conditio sine qua non bagi tercapainya tujuan pendidikan. Sebab dalam kegembiraan siswa dengan leluasa dapat mengikuti proses belajar-mengajar serta mengerjakan berbagai tugas dengan suka ria dan penuh tanggung jawab. Sebaliknya, dalam keadaan murung dan tertekan, aktivitas belajar-mengajar tidak beda dengan upaya membuang garam di laut. Tidak ada manfaat yang didapatkan dari proses pembelajaran yang sarat dengan ketegangan.
Kedua, pendidikan murah bisa memperkuat legitimasi rakyat terhadap negara, serentak pula memenuhi tugas pokok negara. Artinya dengan pendidikan murah peran dan posisi negara akan semakin kuat.
Ketiga, sekolah murah juga dapat menyudahi kecenderungan banyak lembaga pendidikan yang lebih berorientasi komersial. Pertanyaannya adalah, bagaimana caranya agar mimpi tentang sekolah murah itu bisa terwujud?
Ada beberapa cara yang bisa ditempuh. Pertama, karena selama ini yang menerapkan biaya mahal umumnya sekolah-sekolah swasta, maka untuk menekan kecenderungan seperti itu pemerintah perlu menyiapkan anggaran subsidi dalam jumlah besar bagi sekolah-sekolah swasta. Pemerintah tidak boleh diskriminatif dalam mengambil kebijakan terkait pengalokasian anggaran di bidang pendidikan dengan membuat pemisahan terlampau tegas antara sekolah negeri dan sekolah swasta. Dengan demikian, sekolah-sekolah swasta bisa menurunkan biaya pendidikan sehingga para orangtua dapat menyekolahkan anak-anaknya di sekolah swasta. Karena bagaimana pun kedua lembaga ini sama-sama berkiprah dalam domain usaha mencerdaskan anak bangsa.
Kedua, perlu ditumbuhkembangkan semangat solidaritas dalam diri siswa sehingga sejak dini mereka sudah memiliki kepedulian sosial untuk membantu sesama temannya yang berkekurangan. Pihak sekolah harus dengan berani dan terbuka membicarakan realitas faktual yang ada bersama orangtua siswa. Bahwa di sekolah ada banyak siswa yang tidak mampu membiayai pendidikan karena faktor terbatasnya ekonomi keluarga. Karenanya para siswa diimbau agar setiap hari dapat menyumbang sedikit dari uang jajannya untuk membantu membiayai pendidikan teman-temannya yang kurang mampu. Besaran dana solidaritas tergantung kesepakatan antara sekolah dengan orangtua.
Ketiga, sekolah perlu menggalakkan gerakan cinta almamater dengan mengundang para alumni untuk mengadakan reuni secara periodik. Reuni merupakan kesempatan bagi para alumni untuk memberikan sumbangan, baik berupa pemikiran mengenai masa depan sekolah, juga berupa bantuan material kepada almamater. Selain reuni yang sifatnya musiman, para alumni juga perlu mengembangkan rasa memiliki serta memantapkan tanggung jawab untuk menjadi donatur tetap bagi masing-masing lembaga di mana mereka tamat.
Keempat, manajemen sekolah perlu menumbuhkembangkan koperasi sekolah, sehingga para siswa dapat meminjam dan memanfaatkan uang koperasi untuk melunaskan seluruh komponen biaya pendidikan. Tentu saja semua prosedur dan sistem pinjam-meminjam sebagaimana lazim berlaku di koperasi harus tetap dipelihara dengan mengedepankan prinsip maju bersama menantang badai hari esok. Apabila keempat cara ini dijalankan dengan manajemen yang jelas, terarah dan transparan, maka dambaan untuk memberlakukan biaya murah di sekolah-sekolah swasta dapat terwujud. Dengan demikian semua anak, baik dari kalangan orangtua berada maupun yang berasal dari orangtua kurang mampu tetap memiliki hak serta kesempatan yang sama untuk menikmati pendidikan secara adil dan merata. Jika tidak, maka tudingan serta celotehan masyarakat mengenai kenyataan komersialisasi pendidikan yang hanya mengakomodasi anak-anak orang kaya selama ini semakin mendapatkan pembenarannya. Itu berarti orang miskin tetap dilarang sekolah.
Diskursus yang agak plastis muncul ketika orang menguliti pendidikan dengan label 'murah'. Pendidikan dengan ongkos murah itu lebih banyak manfaatnya daripada mudaratnya. Pertama, dengan pendidikan murah dapat dipastikan bahwa hampir semua anak bangsa memiliki peluang untuk merasakan indahnya masa-masa sekolah. Pendidikan murah juga dapat membuat banyak orang merasa gembira, terlebih para peserta didik. Dan pada dasarnya kegembiraan merupakan conditio sine qua non bagi tercapainya tujuan pendidikan. Sebab dalam kegembiraan siswa dengan leluasa dapat mengikuti proses belajar-mengajar serta mengerjakan berbagai tugas dengan suka ria dan penuh tanggung jawab. Sebaliknya, dalam keadaan murung dan tertekan, aktivitas belajar-mengajar tidak beda dengan upaya membuang garam di laut. Tidak ada manfaat yang didapatkan dari proses pembelajaran yang sarat dengan ketegangan.
Kedua, pendidikan murah bisa memperkuat legitimasi rakyat terhadap negara, serentak pula memenuhi tugas pokok negara. Artinya dengan pendidikan murah peran dan posisi negara akan semakin kuat.
Ketiga, sekolah murah juga dapat menyudahi kecenderungan banyak lembaga pendidikan yang lebih berorientasi komersial. Pertanyaannya adalah, bagaimana caranya agar mimpi tentang sekolah murah itu bisa terwujud?
Ada beberapa cara yang bisa ditempuh. Pertama, karena selama ini yang menerapkan biaya mahal umumnya sekolah-sekolah swasta, maka untuk menekan kecenderungan seperti itu pemerintah perlu menyiapkan anggaran subsidi dalam jumlah besar bagi sekolah-sekolah swasta. Pemerintah tidak boleh diskriminatif dalam mengambil kebijakan terkait pengalokasian anggaran di bidang pendidikan dengan membuat pemisahan terlampau tegas antara sekolah negeri dan sekolah swasta. Dengan demikian, sekolah-sekolah swasta bisa menurunkan biaya pendidikan sehingga para orangtua dapat menyekolahkan anak-anaknya di sekolah swasta. Karena bagaimana pun kedua lembaga ini sama-sama berkiprah dalam domain usaha mencerdaskan anak bangsa.
Kedua, perlu ditumbuhkembangkan semangat solidaritas dalam diri siswa sehingga sejak dini mereka sudah memiliki kepedulian sosial untuk membantu sesama temannya yang berkekurangan. Pihak sekolah harus dengan berani dan terbuka membicarakan realitas faktual yang ada bersama orangtua siswa. Bahwa di sekolah ada banyak siswa yang tidak mampu membiayai pendidikan karena faktor terbatasnya ekonomi keluarga. Karenanya para siswa diimbau agar setiap hari dapat menyumbang sedikit dari uang jajannya untuk membantu membiayai pendidikan teman-temannya yang kurang mampu. Besaran dana solidaritas tergantung kesepakatan antara sekolah dengan orangtua.
Ketiga, sekolah perlu menggalakkan gerakan cinta almamater dengan mengundang para alumni untuk mengadakan reuni secara periodik. Reuni merupakan kesempatan bagi para alumni untuk memberikan sumbangan, baik berupa pemikiran mengenai masa depan sekolah, juga berupa bantuan material kepada almamater. Selain reuni yang sifatnya musiman, para alumni juga perlu mengembangkan rasa memiliki serta memantapkan tanggung jawab untuk menjadi donatur tetap bagi masing-masing lembaga di mana mereka tamat.
Keempat, manajemen sekolah perlu menumbuhkembangkan koperasi sekolah, sehingga para siswa dapat meminjam dan memanfaatkan uang koperasi untuk melunaskan seluruh komponen biaya pendidikan. Tentu saja semua prosedur dan sistem pinjam-meminjam sebagaimana lazim berlaku di koperasi harus tetap dipelihara dengan mengedepankan prinsip maju bersama menantang badai hari esok. Apabila keempat cara ini dijalankan dengan manajemen yang jelas, terarah dan transparan, maka dambaan untuk memberlakukan biaya murah di sekolah-sekolah swasta dapat terwujud. Dengan demikian semua anak, baik dari kalangan orangtua berada maupun yang berasal dari orangtua kurang mampu tetap memiliki hak serta kesempatan yang sama untuk menikmati pendidikan secara adil dan merata. Jika tidak, maka tudingan serta celotehan masyarakat mengenai kenyataan komersialisasi pendidikan yang hanya mengakomodasi anak-anak orang kaya selama ini semakin mendapatkan pembenarannya. Itu berarti orang miskin tetap dilarang sekolah.
ANALISA/KESIMPULAN
Stratifikasi sosial merupakan suatu konsep dalam sosiologi yang melihat bagaimana anggota masyarakat dibedakan berdasarkan status yang dimilikinya. Adanya lapisan masyarakat dapat terbentuk dengan sendirinya ataupun dengan sebuah proses. Apabila dengan sebuah proses itu biasanya proses tersebut ditentukan beberapa faktor antara lain : kepandaian, usia, sistem kekerabatan, dan harta dalam batas-batas tertentu. Serta ada beberapa alasan yang dipakai oleh beberapa daerah.
Perpindahan lapisan atau startifikasi sosial disebabkan mobilitas sosial. Dan berkaitan dengan mobilitas ini maka stratifikasi sosial memiliki dua sifat, yaitu stratifikasi terbuka dan stratifikasi tertutup. Stratifikasi tertutup adalah stratifikasi di mana tiap-tiap anggota masyarakat tersebut tidak dapat pindah ke strata atau tingkatan sosial yang lebih tinggi atau lebih rendah. Sistem lapisan masyarakat tertutup, membatasi kemungkinan pindahnya seseorang dari satu lapisan ke lapisan yang lain. Baik yang merupakan gerak ke atas atau ke bawah.
Faktor-faktor yang Mempengaruhi Stratifikasi: Kekayaan, Kekuasaan (Power), Kehormatan/ kebangsawanan, dan Pendidikan. Dalam sistem stratifikasi sosial tertutup bersifat tetap. Satu-satunya jalan supaya berada pada suatu lapisan kelas tertentu adalah melalui kelahiran. Pada stratifikasi ini, gerak sosial tidak dapat terjadi karena seseorang tidak dapat naik, atau bahkan turun ke kelas sosial lainya.