Wednesday, November 17, 2010

WARGA MERAPI ENGGAN MENGUNGSI



Warga lereng Merapi di daerah Klaten hingga Senin (25/10.2010) siang masih belum mendapat perintah segera mengungsi. Mereka juga terlihat enggan meninggalkan kampung halamannya untuk mengungsi. Alasannya, mereka trauma dengan peristiwa pengungsian tahun 2006 yang sangat merugikan warga.

Musiyem warga Deles, Kemalang, Klaten, Senin siang masih melakukan aktivitas seperti biasa. Dia tetap mencarikan rumput untuk ketiga ekor sapi piaraannya. Sapi itu telah dipiara dan dibesarkannya selama empat tahun terakhir, tepatnya pasca erupsi Merapi tahun 2006.

Saat itu seluruh warga di kampungnya dipaksa mengungsi dari rumah karena ancaman bahaya Merapi. Mereka mengungsi di tenda pengungsian yang disediakan pemerintah di lapangan Desa Dompol, Kemalang, Klaten.

Namun hingga pengungsian berakhir desa Deles memang tidak terkena muntahan lahar, paling parah hanya terkena hujan abu. Kawasan tersebut terlindungi oleh salah satu bukit anak Merapi yang oleh warga biasa disebut Gunung Biyung Bibi. Anak gunung ibarat tameng dari bencana Merapi bagi warga Kemalang secara turun-temurun.

Padahal karena harus mengungsi dan hanya orang yang disediakan tempat pengungsian, akhirnya seluruh ternaknya dijual secara murah. Tanaman di lahan garapan juga terbengkelai karena tak dirawat.

"Belum lagi perlakukan saat di pengungsian. Makannya susah, pulangnya juga tidak diberi modal apapun. Saat itu kami pulang sudah layaknya gelandangan saja. Tidak punya apa-apa. Sampai di rumah juga harus mulai dari awal lagi. Setelah empat tahun, kini kami sudah punya tiga ekor sapi lagi," papar Musiyem.

Karenanya dia terus menghindar saat ditanya apakah dia akan ikut mengungsi jika nantinya Pemkab Klaten memerintahkan pengosongan kawasan hunian yang dianggap berbahaya terkena letusan Merapi. Dari pandangan dan ekspresinya kelihatan sekali dia tidak senang meninggalkan rumahnya untuk mengungsi.

Jawaban lebih jelas disampaikan Martono, warga dusun Pajegan, Desa Tegalmulyo, Kemalang. Pajegan adalah salah satu kawasan hunian tertinggi di lereng Merapi daerah Klaten. Lokasi hunian itu hanya berjarak 2 kilometer dari puncak Merapi. Tahun 2006 lokasi tersebut terselamatkan oleh bukit Biyung Bibi dari semburan awan panas Merapi.

"Daerah kami selama ini selalu aman dari bahaya Merapi. Kami yakin tahun inipun pemukiman kami aman. Namun jika diminta mengungsi, kami akan mematuhi perintah itu. Hanya saja harapan kami, bukan hanya manusia saja yang diungsikan, tolong hewan piaraan juga diberi tempat untuk di pengungsian." papar Martono yang saat ini memiliki lima ekor sapi dan beberapa ekor kambing.

Martono mengatakan, hewan ternak adalah harta kekayaan warga di pedesaan. Warga tidak mungkin nyaman di pengungsian selama hewan ternaknya tetap berada di pemukiman. Padahal lokasi rumah dengan lokasi pengungsian sangat jauh. Jika pemerintah tidak diperhatikan masalah tersebut maka pemerintah justru dinilai menelantarkan nasib warga.

PENYEBAB WARGA YANG TINGGAL DI LERENG GUNUNG MERAPI TIDAK MAU MENGUNGSI :

  • Relokasi warga di Gunung Merapi masih sangat jauh. Jika relokasi dipaksakan maka sama saja mencabut kehidupan warga yang sudah mapan dan kebijakan ini belum tentu dapat diterima warga lereng Merapi. Sebab warga bisa menganggap itu justru malah menyusahkan dan jelas menghilangkan kearifan lokal warga lereng Merapi.
  • alasan keamanan tidak semua warga mengungsi. Para pemuda diminta untuk tetap bertahan di kampung guna menghindari kemungkinan orang jahat yang memanfaatkan keadaan.
  • Para warga lebih percaya kepada tokoh SPRITUAL dari pada aparatu pemerintah sehingga,Tidak semua warga menuruti perintah mengungsi tersebut. Juru kunci Gunung Merapi, Mbah Maridjan, misalnya, tidak juga turun meski Merapi telah mengeluarkan awan panas. Tokoh spiritual yang dikenal jadi bintang iklan tersebut tetap memilih tinggal di Desa Kinahrejo, Kecamatan Cangkringan, Kabupaten Sleman. Sampai pukul 21.00 Selasa malam, Mbah Maridjan belum tampak ikut mengungsi di lokasi pengungsian. Pada tahun 2006 silam, Mbah Maridjan pernah memicu ketegangan komunikasi karena enggan memenuhi perintah mengungsi dari aparatur setempat ketika Gunung Merepi begejolak dan dinyatakan dalam status Awas Merapi. Ketika itu, tokoh panutan warga lereng Merepi tersebut nekat memilih tinggal di kediamannya bersama warga sekitar karena berdasar prediksinya Gunung Merapi tak akan meletus. Kala itu, prediksi Mbah Mardjan memang tepat; bahaya awan panas tak akanmengamuk desanya. AKIBATNYA menit pasca erupsi Merapi sudah ditemukan korban tewas yang berasal dari desa tempat tinggal Mbah Maridjan. Tim Evakuasi yang dikirim ke rumah Mbah Maridjan sekitar pukul 22.00 WIB Selasa malam juga berhasil menemukan belasan jenazah tergeletak di sekitar rumah Mbah Maridjan dan empat jenazah lainnya berada di dalam rumah Mbah Mardjan. Setelah diidentifikasi, salah satu jenazah yang ditemukan di rumah Mbah Maridjan itu adalah seorang wartawan media online VIVAnews.com, Yuniawan Wahyu Nogroho.
  • faktor yang membuat warga Merapi berani nekat tinggal di kawasan lereng Merapi, yakni; faktor ekonomi dan faktor kultural.
  • Balai Penelitian dan Pengembangan Teknologi Kegunungapian (BPPTK) Yogyakarta telah menaikan status Merapi dari Siaga menjadi Awas.   Sesuai dengan penetapan status itu, BPPTK merekomendasikan agar warga yang tinggal di radius 10 kilometer dari puncak Merapi untuk mengungsi. Namun rekomendasi itu sama sekali tidak mendapat tanggapan dari warga. Alasannya,  mereka enggan mengungsi karena belum menyelesaikan pekerjaan masing-masing.  Misalanya saja  mencari pasir, pergi ke ladang, hingga mengerjakan pekerjaan rumah. "Kalau belum lihat sendiri wedhus gembelnya, biasanya belum mau lari
Bagaimana Solusinya untuk mengentisipasi warga yang tinggal di lereng gunung merapi jika sewaktu-waktu akan meletus ? 
SOLUSI ANTISIPASI LETUSAN GUNUNG MERAPI UNTUK WARGA YANG TINGGAL DI LERENG GUNUNG :
  • Hal yang paling mungkin dilakukan adalah menyediakan tempat pengungsian permanen berikut sarana dan prasarana pendukung yang memadai. Sebab biasanya Gunung Merapi mengalami letusan dengan siklus lima tahunan.Yang terpenting kesiapan pada saat hadapi letusan Gunung Merapi ialah dengan membangun penampungan yang permanen. Dengan begitu penanganan kepada pengungsi bisa lebih baik.Namun, jelasnya, saat ini Provinsi Jawa Tengah masih mempertanyakan mengapa kapasitasnya hanya cukup untuk menampung 3 ribu orang. "Kalau bisa kapasitasnya ditambah lebih besar," tegas mantan Bupati Kebumen ini. Sebab, warga yang mengungsi akibat letusan Gunung Merapi mencapai puluhan ribu jiwa.Agar pendirian tempat penampungan bisa ringan maka nantinya akan ada sharing pembiayaan dengan pemerintah daerah. Dalam waktu dekat akan digelar rapat di Badan Koordinasi Wilayah (Bakorwil) Kedu antara pimpinan daerah dan sekretaris daerah di wilayah Kedu.
  • Selain itu, pemerintah juga akan membuat penujuk-penunjuk arah yang baku dan permanen. "Jika seluruhnya sudah permanen maka seluruhnya akan terdata dengan baik jika sewaktu-waktu ada letusan Gunung Merapi," tandasnya. wilayah yang berada di Kawasan Rawan Bahaya (KRB) III, yakni merupakan wilayah yang paling dekat dengan sumber bahaya dan berpotensi terlanda awan panas, aliran lava pijar (guguran/lontaran material pijar, dan gas beracun) yang bersumber dari Gunung Merapi.
  • Dalam acara halal bihalal lalu, Kepala Desa Purwobinangun Suharno ternyata juga ikut hadir dan sudah memberikan peringatan kepada warga Turgo agar waspada terkait adanya peningkatan aktivitas vulkanik belakangan ini. Ketika status Gunung Merapi dinyatakan naik secara beruntun dari “Waspada Merapi”, “Siaga Merapi” hingga akhirnya “Awas Merapi”, aparatur pemerintah – baik di Jawa Tengah maupun Yogyakarta - sudah memberikan peringatan agar semua warga di kawasan rawan bencana segera mengungsi ke tempat aman yang telah disiapkan. Peringatan itu juga disampaikan aparatur Pemerintah Kabupaten Sleman kepada warga lereng Merapi di wilayah Yogyakarta
  •  menyiapkan skenario evakuasi warga jika Gunung Merapi tiba-tiba meletus. Langkah pertama, saat status keaktifan gunung berubah menjadi waspada adalah melakukan pembaruan pendataan tentang kondisi masyarakat dan lingkungan di kawasan rawan bencana (KRB). Fokus pendataan oleh Pemkab Klaten ini adalah para pendudukrentan, yaitu anak-anak, wanita hamil, sakit, usia senja, dan warga dengan kebutuhan khusus (diffa-ble).Langkah pendataan ini seharusnya sudah mulai dilakukan oleh pemerintah. Data kependudukan untuk pengungsi yang terakhir disusun pada 2006 itu sudah tidak sesuai dengan kondisi sekarang," kata Kordinator Tim Siaga Merapi, Sukiman, di Pen-dapa Pemkab Klaten.Seandainya kelak status gunung meningkat menjadi siaga, masyarakat harus siap jika sewaktu-waktu ada perintah pengungsian. Standar operasinya, masyarakat sudah membereskan barang-barang berharga dan harta benda yang mudah dibawa. Selain itu, jalur evakuasi harus bersih sehingga perjalanan pengungsian tidak mendapat hambatan. "Saat Merapi berstatus awas, maka tidak ada lagi penduduk yang berada di lereng Merapi. Khususnya, di wilayah yang pernah dilewati awan panas
  • Penyelidikan dan Pengembangan Teknologi Kegunungapian (BPPK) Yogyakarta menyatakan kenaikan status aktivitas vulkanik Merapi dari "Aktif Normal" menjadi "Waspada". Status aktivitas vulkanik Merapi meliputi "Aktif Normal", "Waspada", "Siaga", dan "Awas". Agar pada saat evakuasinya berjalan lancar ,jadinya nanti tidak berjatuhan korban lagi menyiapkan sarana berupa tas untuk bertahan hidup para warga yang akan mengungsi.
  • Menyiapkan  tersebut berisi alas tidur, obat-obatan, tempat makanan, serta beberapa barang yang kemungkinan besar dibutuhkan warga saat mengungsi.
  • Kesiapan lain yang telah dilakukan untuk mengantisipasi bencana erupsi Merapi, kata dia, yakni menyiapkan penduduk di lereng gunung berapi ini yang akan diungsikan.
Andai saja, warga lereng Merapi di Kawasan Rawan Bahaya (KRB) III - yang paling dekat dengan sumber bahaya – itu bersedia mematuhi perintah mengungsi, boleh jadi tak akan ada korban jiwa akibat sengatan awan panas wedhus gembel. Kenapa warga lereng Merapi di Kawasan Rawan Bahaya (KRB) III berani nekad menghadapi risiko bahaya letusan Merapi,